Pagi ini, saat saya membuat sarapan standar, roti bakar dan sosis (hari ini tanpa keju), saya berpikir tentang situasi politik di kampung halaman. Masih ingat cerita saya tentang penonton? Ya, pemilu baru saja diadakan tanggal 5 Juli yang lalu, hampir dua pekan dari sekarang.
Sebenarnya saya masih belum terlalu faham tentang masalah itu. Saat di ITB dulu, meski ikut terlibat di organisasi mahasiswa, ikut berdiskusi tentang gerakan mahasiswa, dan sebagainya, tetap saja saya adalah yang paling awam tentang ini dibanding kawan-kawan yang lain. Jujur saja, dibanding berkutat dengan dunia abu-abu itu, hal-hal yang lebih sosial, memasyarakat, dsb., sepertinya lebih menghanyutkan untuk ditelusuri. Tapi kadang tak banyak pilihan yang bisa diambil, karena tugas itu bukan suka atau tidak suka, ataupun mau tidak mau. Lebih kepada melihat kebutuhan lapangan. Siap tak siap harus maju. Katanya...
Persis seperti saat diminta orasi di BIP, atau menjadi humas dan publikasi saat aksi, padahal saya ini sangat tidak percaya diri. Tapi apa masih ada yang percaya kalau saya ini sama sekali tidak percaya diri? Hehe..hiks...sih karena tak ada yang bisa saya yakinkan.
Saya ingat, saat seorang kawan yang tak 'seribut' saya, berapi-api mengajak aksi, kampanye di angkot, atau melakukan hal-hal yang 'malu-maluin' disaat normal. Apa yang membuat dia mau melakukannya? Keyakinan akan kebenaran.
Malam-malam saat kampanye presiden di kampus (dua atau tiga tahun berturut), rumah saya (kontrakan, red) ramai oleh para akhwat. Membuat souvenir dan boundary (semacam benang yang digantungi bendera atau pernak-pernik untuk ditempel di koridor kampus). Bukan hanya rumah saya, di rumah kawan-kawan yang lain pun mereka berjaga malam untuk membuat aneka pernak-pernik.
Tidur hanya sebentar saja, bergiliran berjaga dan juga sholat lail. Tak ada yang membuat kami ingin bertahan lebih lama, selain keyakinan akan apa yang hendak kami perjuangkan. Perbaikan kampus kami, keyakinan bahwa kebenaran harus dipadukan dengan kekuatan.
Politik di negara kecil bernama ITB, kerapkali membuatku jengah. Pertarungan itu kerap terjadi. Meskipun karena kami sama-sama muda, sama-sama belajar meyakini sesuatu bernama kebenaran dan berjuang untuk mewujudkannya, dialog-dialog masih memungkinkan untuk dibuka.
Tapi lihatlah politik di suatu negeri bernama Indonesia. Tahapan-tahapan difusi kebaikan yang mestinya mengalir lancar dari sya'bi (masyarakat) menjadi siyasi (politik) berjalan tersendat-sendat. Berbagai kepentingan, fitnah-fitnah busuk, topeng-topeng, membuatnya terasa makin samar. Tanpa melipatgandakan keimanan dan kepercayaan satu sama lain, bukan tak mungkin bahkan kita meragukan kebenaran yang kita bawa. Apa yang harus diperjuangkan?
Bila itu saja sudah tidak bulat, bagaimana akan kita curahkan segala potensi? Bagaimana kita akan paksa diri ini untuk berkorban? Menahan keinginan materi, emosi, dan menguras energi fisik, bahkan mengorbankan jiwa?
Tampil bernegara, membuat keikhlasan benar-benar diuji secara terang-terangan. Semua orang merasa memiliki. Sebagian orang yang akan memuji, dan tak sedikit yang akan mencaci dan memaki. Bersiap dengan fitnah, dan sebagainya. Penetapan prioritas-prioritas menjadi semakin berat, karena banyak persoalan menuntut untuk didahulukan. Sebagian meminta masalah pembinaan, yang lain dukungan publik, satunya penyelamatan dakwah secara umum, satunya keinginan untuk tetap berada pada area hitam putih tanpa melihat alternatif-alternatif lain. Dan semuanya lengkap dengan dalil.
Masya Allah...sesak rasanya dada ini bila mengingatnya.
Perjuangan harus terus dilanjutkan, memang. Setiap beban yang hadir mestinya membuat pundak-pundak ini semakin kuat. Menyiapkan diri adalah sebuah keniscayaan karena bila tidak, patahlah pundak kita. Ibarat manusia, dakwah ini semakin dituntut untuk bersikap dewasa. Tak bisa berlindung di balik keremajaan ataupun kepolosan kanak-kanak.
Semoga, semakin banyak pekerjaan, semakin mendekatkan diri kita pada Allah. Agar di dunia abu-abu ini, kita bisa memilah dan memilih. Dan kemudian memperjuangkannya. Sepenuh jiwa... Hingga mimpi tentang sebuah negeri yang dirahmati Rabbnya bisa terwujud. Tak ada nama yang berkumandang kecuali AsmaNya.
Dan untuk perjuangan yang itu, saya sama sekali tidak mau jadi penonton.
Kamu juga kan?
Ganbarimashoo minna san...
Sebenarnya saya masih belum terlalu faham tentang masalah itu. Saat di ITB dulu, meski ikut terlibat di organisasi mahasiswa, ikut berdiskusi tentang gerakan mahasiswa, dan sebagainya, tetap saja saya adalah yang paling awam tentang ini dibanding kawan-kawan yang lain. Jujur saja, dibanding berkutat dengan dunia abu-abu itu, hal-hal yang lebih sosial, memasyarakat, dsb., sepertinya lebih menghanyutkan untuk ditelusuri. Tapi kadang tak banyak pilihan yang bisa diambil, karena tugas itu bukan suka atau tidak suka, ataupun mau tidak mau. Lebih kepada melihat kebutuhan lapangan. Siap tak siap harus maju. Katanya...
Persis seperti saat diminta orasi di BIP, atau menjadi humas dan publikasi saat aksi, padahal saya ini sangat tidak percaya diri. Tapi apa masih ada yang percaya kalau saya ini sama sekali tidak percaya diri? Hehe..hiks...sih karena tak ada yang bisa saya yakinkan.
Saya ingat, saat seorang kawan yang tak 'seribut' saya, berapi-api mengajak aksi, kampanye di angkot, atau melakukan hal-hal yang 'malu-maluin' disaat normal. Apa yang membuat dia mau melakukannya? Keyakinan akan kebenaran.
Malam-malam saat kampanye presiden di kampus (dua atau tiga tahun berturut), rumah saya (kontrakan, red) ramai oleh para akhwat. Membuat souvenir dan boundary (semacam benang yang digantungi bendera atau pernak-pernik untuk ditempel di koridor kampus). Bukan hanya rumah saya, di rumah kawan-kawan yang lain pun mereka berjaga malam untuk membuat aneka pernak-pernik.
Tidur hanya sebentar saja, bergiliran berjaga dan juga sholat lail. Tak ada yang membuat kami ingin bertahan lebih lama, selain keyakinan akan apa yang hendak kami perjuangkan. Perbaikan kampus kami, keyakinan bahwa kebenaran harus dipadukan dengan kekuatan.
Politik di negara kecil bernama ITB, kerapkali membuatku jengah. Pertarungan itu kerap terjadi. Meskipun karena kami sama-sama muda, sama-sama belajar meyakini sesuatu bernama kebenaran dan berjuang untuk mewujudkannya, dialog-dialog masih memungkinkan untuk dibuka.
Tapi lihatlah politik di suatu negeri bernama Indonesia. Tahapan-tahapan difusi kebaikan yang mestinya mengalir lancar dari sya'bi (masyarakat) menjadi siyasi (politik) berjalan tersendat-sendat. Berbagai kepentingan, fitnah-fitnah busuk, topeng-topeng, membuatnya terasa makin samar. Tanpa melipatgandakan keimanan dan kepercayaan satu sama lain, bukan tak mungkin bahkan kita meragukan kebenaran yang kita bawa. Apa yang harus diperjuangkan?
Bila itu saja sudah tidak bulat, bagaimana akan kita curahkan segala potensi? Bagaimana kita akan paksa diri ini untuk berkorban? Menahan keinginan materi, emosi, dan menguras energi fisik, bahkan mengorbankan jiwa?
Tampil bernegara, membuat keikhlasan benar-benar diuji secara terang-terangan. Semua orang merasa memiliki. Sebagian orang yang akan memuji, dan tak sedikit yang akan mencaci dan memaki. Bersiap dengan fitnah, dan sebagainya. Penetapan prioritas-prioritas menjadi semakin berat, karena banyak persoalan menuntut untuk didahulukan. Sebagian meminta masalah pembinaan, yang lain dukungan publik, satunya penyelamatan dakwah secara umum, satunya keinginan untuk tetap berada pada area hitam putih tanpa melihat alternatif-alternatif lain. Dan semuanya lengkap dengan dalil.
Masya Allah...sesak rasanya dada ini bila mengingatnya.
Perjuangan harus terus dilanjutkan, memang. Setiap beban yang hadir mestinya membuat pundak-pundak ini semakin kuat. Menyiapkan diri adalah sebuah keniscayaan karena bila tidak, patahlah pundak kita. Ibarat manusia, dakwah ini semakin dituntut untuk bersikap dewasa. Tak bisa berlindung di balik keremajaan ataupun kepolosan kanak-kanak.
Semoga, semakin banyak pekerjaan, semakin mendekatkan diri kita pada Allah. Agar di dunia abu-abu ini, kita bisa memilah dan memilih. Dan kemudian memperjuangkannya. Sepenuh jiwa... Hingga mimpi tentang sebuah negeri yang dirahmati Rabbnya bisa terwujud. Tak ada nama yang berkumandang kecuali AsmaNya.
Dan untuk perjuangan yang itu, saya sama sekali tidak mau jadi penonton.
Kamu juga kan?
Ganbarimashoo minna san...
Comments