Setelah membuat cerber yang ternyata bingung mau diselesaikan bagaimana ~_~, saya jadi ingin membuat serial tentang kehidupan di Tokyo. Beberapa hal yang mungkin menarik atau bisa menjadi catatan untuk masa selanjutnya.
Cerita ini akan dimulai dari masa keberangkatan saya.
Eng ing eng...
KEBERANGKATAN
Pemberitahuan tentang penerimaan saya sebagai penerima beasiswa Monbusho datang agak terlambat dari jadwal yang diperkirakan. Saya sedikit cemas, karena beberapa hari sebelumnya seorang kawan pelamar beasiswa yang lain telah dinyatakan tidak diterima. Kawan-kawan lain dinyatakan diterima, dan ada pula yang masih menggantung seperti saya.
Alumni Teknik Fisika angkatan 97 memang banyak yang melamar beasiswa monbusho tahun ini. Peminat sekitar 9 orang, yang berhasil melamar 6 orang dan yang diterima 5 orang.
Satu hari, di bulan Juli 2003, sepulang dari Salman saya pergi ke perpustakaan TF. Saat itu saya sudah tidak memiliki kunci lab sehingga tak bisa lagi menggunakan fasilitas Lab. Saya memeriksa e-mail dan menemukan e-mail sensei. Dia menyatakan selamat karena saya berhasil mendapat beasiswa itu. Subhanallah...
Sayangnya hanya ada mahasiswa di ruangan itu yang bisa saya ajak berbagi, rasanya saya ingin memeluk seseorang untuk mencurahkan perasaan saya. Untuk ada ibu perpus. Segera saya menghampiri beliau,
"Ibu, Rieska jadi dapat beasiswa. Rieska bisa sekolah ke Jepang..."
"Eh, beneran?Alhamdulillah..."
Dan kami berpelukan...seperti biasa, mata saya bocor penuh keharuan.
Saya ingat betul dalam proses pelamaran itu saya mengalami banyak hambatan. Namun saya juga mendapat pertolongan dari banyak pihak. Sebagian di antara mereka adalah bapak-ibu petugas kesekretariatan dan juga bapak-ibu perpus ini. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan balasan yang baik.
Pasca penerimaan disiapkanlah segala perbekalan. Pengurusan administrasi, persiapan material dan juga spiritual.
Saat itu saya juga sedang dalam proses akhir rekruitment Management Trainee bank Syariah Mandiri. Ini adalah satu-satunya lamaran pekerjaan yang saya ajukan setelah lulus. Lalu saya pun segera mengirimkan e-mail resmi terkait dengan pengunduran diri saya.
Menjelang keberangkatan, di rumah diadakan syukuran. Kami mengundang ibu-ibu/bapak-bapak peserta pengajian rutin yang diadakan di kompleks rumah kami. Sungguh banyak sekali pesan yang saya catat saat itu baik dari pembicara yang juga uwa saya, dan hadirin. Seorang ibu yang sakit kakinya sengaja datang ke rumah menemui saya. Dia terserang rematik dan kakinya sakit. Tertatih-tatih ia, dan menyampaikan maaf tak bisa hadir saat syukuran itu. Masya Allah...bukankah semestinya saya yang datang ke rumahnya dan memohon doanya?
Kawan-kawan (beragam usia) dari kampus pun datang berkunjung. Ada yang datang saat hari syukuran, banyak pula yang datang setelahnya. Sebagian terkejut karena baru mengetahui betapa jauhnya Banjaran...^_^ (Maaf yaa...tidak bermaksud...)
Seorang kawan membuat rekaman video kunjungan mereka. Disana banyak sekali pesan-pesan yang menyemangati saya untuk senantisa tegar.
Saya juga menelepon kawan-kawan lama, orangtua kawan, guru-guru, dan lain-lain. Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang berarti dalam hidup saya yang ingin saya telepon. Apadaya...pulsa dan waktu ternyata memang terbatas.
Pada tanggal 2 Oktober 2004 sesuai dengan jadwal penerbangan, kami pun berangkat. Ada dua bis pengantar dari Banjaran menuju Cengkareng. Mereka adalah keluarga, ibu-ibu peserta pengajian, dan juga kawan-kawan dekat dari kampus. Banyak orang heran, termasuk saya, kenapa seperti pengantar haji? Mereka berkata, pergi haji itu hanya satu bulan-an, ini tahunan. Sementara nilainya sama-sama ibadah. Ooo...
Bersama saya, dalam satu penerbangan itu ada tiga orang lagi alumni ITB yang saya kenal yang akan kuliah di TIT.
Keharuan menyergapi ruang tunggu cengkareng. Setiap orang menyalami saya, penuh nasihat, doa, dan airmata. Walau berat, kami harus segera pergi. Meraih cita-cita.
Dan jelang tengah malam lepas landaslah kami...
[Bersambung]
Perpisahan itu selalu menyakitkan. Tapi harapan akan pertemuan keabadian dalam keadaan yang lebih baik akan membuat kita lebih tegar. Namun bagaimanakah membuat kita senantiasa berada dalam satu nafas? Satu nafas itulah yang akan menentukan apakah pada masa yang akan datang kita akan bersama dalam kebahagiaan atau tidak.
Cerita ini akan dimulai dari masa keberangkatan saya.
Eng ing eng...
KEBERANGKATAN
Pemberitahuan tentang penerimaan saya sebagai penerima beasiswa Monbusho datang agak terlambat dari jadwal yang diperkirakan. Saya sedikit cemas, karena beberapa hari sebelumnya seorang kawan pelamar beasiswa yang lain telah dinyatakan tidak diterima. Kawan-kawan lain dinyatakan diterima, dan ada pula yang masih menggantung seperti saya.
Alumni Teknik Fisika angkatan 97 memang banyak yang melamar beasiswa monbusho tahun ini. Peminat sekitar 9 orang, yang berhasil melamar 6 orang dan yang diterima 5 orang.
Satu hari, di bulan Juli 2003, sepulang dari Salman saya pergi ke perpustakaan TF. Saat itu saya sudah tidak memiliki kunci lab sehingga tak bisa lagi menggunakan fasilitas Lab. Saya memeriksa e-mail dan menemukan e-mail sensei. Dia menyatakan selamat karena saya berhasil mendapat beasiswa itu. Subhanallah...
Sayangnya hanya ada mahasiswa di ruangan itu yang bisa saya ajak berbagi, rasanya saya ingin memeluk seseorang untuk mencurahkan perasaan saya. Untuk ada ibu perpus. Segera saya menghampiri beliau,
"Ibu, Rieska jadi dapat beasiswa. Rieska bisa sekolah ke Jepang..."
"Eh, beneran?Alhamdulillah..."
Dan kami berpelukan...seperti biasa, mata saya bocor penuh keharuan.
Saya ingat betul dalam proses pelamaran itu saya mengalami banyak hambatan. Namun saya juga mendapat pertolongan dari banyak pihak. Sebagian di antara mereka adalah bapak-ibu petugas kesekretariatan dan juga bapak-ibu perpus ini. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan balasan yang baik.
Pasca penerimaan disiapkanlah segala perbekalan. Pengurusan administrasi, persiapan material dan juga spiritual.
Saat itu saya juga sedang dalam proses akhir rekruitment Management Trainee bank Syariah Mandiri. Ini adalah satu-satunya lamaran pekerjaan yang saya ajukan setelah lulus. Lalu saya pun segera mengirimkan e-mail resmi terkait dengan pengunduran diri saya.
Menjelang keberangkatan, di rumah diadakan syukuran. Kami mengundang ibu-ibu/bapak-bapak peserta pengajian rutin yang diadakan di kompleks rumah kami. Sungguh banyak sekali pesan yang saya catat saat itu baik dari pembicara yang juga uwa saya, dan hadirin. Seorang ibu yang sakit kakinya sengaja datang ke rumah menemui saya. Dia terserang rematik dan kakinya sakit. Tertatih-tatih ia, dan menyampaikan maaf tak bisa hadir saat syukuran itu. Masya Allah...bukankah semestinya saya yang datang ke rumahnya dan memohon doanya?
Kawan-kawan (beragam usia) dari kampus pun datang berkunjung. Ada yang datang saat hari syukuran, banyak pula yang datang setelahnya. Sebagian terkejut karena baru mengetahui betapa jauhnya Banjaran...^_^ (Maaf yaa...tidak bermaksud...)
Seorang kawan membuat rekaman video kunjungan mereka. Disana banyak sekali pesan-pesan yang menyemangati saya untuk senantisa tegar.
Saya juga menelepon kawan-kawan lama, orangtua kawan, guru-guru, dan lain-lain. Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang berarti dalam hidup saya yang ingin saya telepon. Apadaya...pulsa dan waktu ternyata memang terbatas.
Pada tanggal 2 Oktober 2004 sesuai dengan jadwal penerbangan, kami pun berangkat. Ada dua bis pengantar dari Banjaran menuju Cengkareng. Mereka adalah keluarga, ibu-ibu peserta pengajian, dan juga kawan-kawan dekat dari kampus. Banyak orang heran, termasuk saya, kenapa seperti pengantar haji? Mereka berkata, pergi haji itu hanya satu bulan-an, ini tahunan. Sementara nilainya sama-sama ibadah. Ooo...
Bersama saya, dalam satu penerbangan itu ada tiga orang lagi alumni ITB yang saya kenal yang akan kuliah di TIT.
Keharuan menyergapi ruang tunggu cengkareng. Setiap orang menyalami saya, penuh nasihat, doa, dan airmata. Walau berat, kami harus segera pergi. Meraih cita-cita.
Dan jelang tengah malam lepas landaslah kami...
[Bersambung]
Perpisahan itu selalu menyakitkan. Tapi harapan akan pertemuan keabadian dalam keadaan yang lebih baik akan membuat kita lebih tegar. Namun bagaimanakah membuat kita senantiasa berada dalam satu nafas? Satu nafas itulah yang akan menentukan apakah pada masa yang akan datang kita akan bersama dalam kebahagiaan atau tidak.
Comments