Skip to main content

Menjadi Tua

Ada salah satu kuliah favorit saya disini, yang dibawakan dalam bahasa Inggris, tentang desain dan manusia. (Rupanya segala hal yang berkaitan langsung dengan manusia senantiasa menarik perhatian saya untuk diikuti, ya). Tema untuk semester ini adalah Design for Elderly People.

Kuliahnya dirancang sangat menarik. Pada tahap awal, senseinya memberikan gambaran kuliah secara umum, dan beberapa aspek yang harus diperhatikan saat kita membuat desain suatu produk dengan konsumen tertentu. Lalu setelah itu, selama beberapa pekan, presentasi individual mengenai Aging and Changing Function, yaitu apa saja yang berubah seiring dengan perubahan usia.

Beberapa faktor yang berubah misalnya sistem penglihatan, pendengaran, gerak, kognitif, dll. Kami mencari bahan sendiri lalu membaginya bersama kawan-kawan lain di kelas. Meskipun satu topik dibawakan oleh beberapa orang, hasil presentasinya tidak benar-benar sama, bahkan terkadang irisannya sedikit. Hal ini membuat pengetahuan kami menjadi semakin luas.

Seteleh presentasi individual, diadakan wawancara. Tiga orang nara sumber, dua bapak dan ibu dengan rentang usia 60-70an tahun dan berbeda latar belakang dihadirkan di kelas. Mereka ini walaupun termasuk generasi sepuh fasih berbahasa Inggris. Ini cukup mengejutkan karena setahu kami, umumnya generasi muda saja yang pandai berbahasa Inggris. Kami mewawancarai mereka terkait dengan produk yang mereka ingin gunakan dan apa kesulitan-kesulitannya. Tentu saja disini kami bisa membandingkannya dengan teori yang sebelumnya kami pelajari.

Pekan berikutnya adalah yang paling menarik, Being Elderly. Sensei meminjam seperangkat peralatan sebagai bahan simulasi, agar kami benar-benar mengetahui apa yang dirasakan oleh para orang tua. Kami dibagi kelompok dua orang-dua orang, lalu masing-masing 'menjadi tua' dengan menggunakan perlengkapan yang ada.

Perlengkapan itu misalnya, kacamata yang membuat penglihatan menjadi kuning, kabur, dan bidang lihat menyempit; beban pada sendi dan punggung untuk menahan gerak; penutup telinga; sarung tangan dan penjepit jari yang membuat gerakan jari menjadi sangat terbatas; serta sebuah tongkat sebagai alat bantu.

Saat menggunakan perlengkapan itu banyak hal yang berubah pada diri saya. Secara fisik, gerak saya menjadi sangat lambat dan terbatas. Penglihatan kabur, pendengaran tak sejelas sebelumnya. Setiap jengkal yang saya tapaki harus dilihat betul-betul. Area pandangan menjadi sangat sempit membuat kemungkinan untuk menabrak orang lain ataupun benda menjadi sangat besar bila kita kurang hati-hati. Mirip robot nenek-nenek ;)

'Perubahan fisik' itu mempengaruhi psikologis saya. Partner saya sempat heran kenapa saya jadi begitu pendiam. Saya sendiri tidak mengerti, karena saya merasa banyak hal yang harus diperhatikan.

Dengan atribut itu, kami berjalan-jalan. Mencoba toilet, lift, tangga, telepon umum, vending machine, dll. Dunia terlihat begitu suram saat saya keluar gedung. Pekerjaan-pekerjaan sederhana menjadi sulit untuk dilakukan. Koin telepon yang berkali-kali jatuh, memijit nomor saja susah, dll.
(Teorinya, para orang tua itu memang kesulitan menggerakkan hal yang benar-benar presisi. Membuka tablet dari stripnya saja sudah merupakan masalah)

Saya teringat nenek saya. Kalau saya menginap di rumahnya, dia menjadi imam saya. Namum sejak saya SMU, dia menolak dan meminta saya menjadi imam dalam sholat dengan alasan gerakan yang dia lakukan tidak sempurna lagi.

Rasanya saat itu mata saya sudah berkaca-kaca. Waktu kita sangat terbatas, sebentar lagi kondisi itu bukan sekedar simulasi, tapi akan benar-benar nyata. Memang OR, makanan yang sehat akan bisa memperlambatnya. Tapi tua adalah sebuah keniscayaan dan penyakit yang tak bisa ditolak.

Mumpung masih muda...


Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar