Manusia kadang menyakiti manusia lain baik disengaja ataupun tidak. Jadikan hati seperti pasir saat pisau kata-kata atau prilaku itu mengiris hati. Agar luka yang digoreskan tak terlalu dalam, dan mudah dihapus jejaknya.
Nana
Terlahir menjadi anak bungsu dari lima bersaudara, apalagi dengan rentang usia yang cukup jauh dari kakak termuda membuat Na seringkali manja sekaligus ingin tampak dewasa di luar. Dia mendapat curahan kasih sayang melimpah dari kedua orangtuanya, tapi tidak dari kakak-kakaknya. Ini yang terkadang membuat dia seringkali merasa sedih sekaligus iri melihat Ra.
Ra terlahir dari keluarga yang hangat, sulung dari dua bersaudara. Dia dan adiknya tampak sangat rukun dan saling menyayangi. Hubungan mereka akan mampu menjadikan iri setiap orang yang tahu betapa dekatnya mereka. Kadang mereka bertukar posisi menjadi kakak adik. Saling menjaga, saling menyayangi, saling membantu, beserta kompetisi yang mewarnai kehidupan mereka.
Adik Ra yang bernama Re itu tinggalnya juga di Jepang ini, meski lain kota. Na tahu betul kalau Re, meski dia laki-laki, seringkali membuatkan cake atau kue-kue enak untuk kakaknya. Anak-anak lantai 3 asrama Komaba-asrama mereka-sering sekali kebagian jatah mencicipi cake atau kue kiriman Re. Ra sendiri dibandingkan Na sangat jarang membuat kue. Dia lebih suka membaca buku (sambil makan kue, hehe). Itulah sebabnya kepada adiknya itu dia lebih sering mengirimkan buku-buku dan majalah. Alasannya, supaya adiknya bisa makan kue sambil membaca buku.
Na terbiasa menjadi orang yang diabaikan kakak-kakaknya. Dia lebih sering dianggap pembuat repot kakak-kakaknya. Secara tidak sadar itu membuat dia merasa tidak perceya diri terkadang.
Tapi Na beruntung, saat ia remaja, ia tidak terjebak pada pergaulan yang tidak-tidak. Haus kasih sayang dari kakak-kakaknya, dia redakan dengan mendapatkan kasih sayang dari kakak-kakak rohisnya. Seperti sebuah pelarian, pada awalnya sebelum kemudian dia benar-benar jatuh cinta pada Islam dan pada dakwah.
Na tersenyum mengingat-ngingat kembali perjalanan hidupnya. Saat sakit seperti ini perjalanan hidupnya seperti diputar ulang, membuatnya menjadi bersyukur akan karunia Rabbnya. Namun genangan air mata kesedihan kembali membasahi matanya, manakala ingatannya kembali pada surat yang diterimanya kemarin pagi.
Na, ko sombong banget sih sekarang...
Mentang-mentang dah jadi orang kaya, sampe lupa kontak ke rumah.
Kamu enak-enakan dapet beasiswa jutaan,
disini kami hidup susah...
Hutang ayah benar-benar di luar dugaan kami.
Setiap hari penagih datang, gimana teteh ga pusong coba...
Hati Na kembali sakit. Tuduhan kakaknya terasa sangat menusuk ke dalam hatinya.
Sebuah windows terbuka pada layar komputernya. Mendorongnya bangkit dari tempat tidur lalu duduk di depan komputernya. Diambilnya tisu lalu ia menyeka airmatanya.
tulipku: assalamu alaikum
tulipku: teh Na beneran OL? tumben siang2...
tulipku: asik... mau curhat teh boleh yah
namakuna: alaikumussalam wrwb. hehe...iyah nih lagi bertapa jd OSB
namakuna: boleh atuh neng, apa sih yg ga boleh buat neng lia ;;)
tulipku: eh OSB teh apa?
namakuna: orang sakti baru :P
tulipku: :D si teteh mah aya aya wae...
tulipku: iyah gini teh...
...
Nana
Terlahir menjadi anak bungsu dari lima bersaudara, apalagi dengan rentang usia yang cukup jauh dari kakak termuda membuat Na seringkali manja sekaligus ingin tampak dewasa di luar. Dia mendapat curahan kasih sayang melimpah dari kedua orangtuanya, tapi tidak dari kakak-kakaknya. Ini yang terkadang membuat dia seringkali merasa sedih sekaligus iri melihat Ra.
Ra terlahir dari keluarga yang hangat, sulung dari dua bersaudara. Dia dan adiknya tampak sangat rukun dan saling menyayangi. Hubungan mereka akan mampu menjadikan iri setiap orang yang tahu betapa dekatnya mereka. Kadang mereka bertukar posisi menjadi kakak adik. Saling menjaga, saling menyayangi, saling membantu, beserta kompetisi yang mewarnai kehidupan mereka.
Adik Ra yang bernama Re itu tinggalnya juga di Jepang ini, meski lain kota. Na tahu betul kalau Re, meski dia laki-laki, seringkali membuatkan cake atau kue-kue enak untuk kakaknya. Anak-anak lantai 3 asrama Komaba-asrama mereka-sering sekali kebagian jatah mencicipi cake atau kue kiriman Re. Ra sendiri dibandingkan Na sangat jarang membuat kue. Dia lebih suka membaca buku (sambil makan kue, hehe). Itulah sebabnya kepada adiknya itu dia lebih sering mengirimkan buku-buku dan majalah. Alasannya, supaya adiknya bisa makan kue sambil membaca buku.
Na terbiasa menjadi orang yang diabaikan kakak-kakaknya. Dia lebih sering dianggap pembuat repot kakak-kakaknya. Secara tidak sadar itu membuat dia merasa tidak perceya diri terkadang.
Tapi Na beruntung, saat ia remaja, ia tidak terjebak pada pergaulan yang tidak-tidak. Haus kasih sayang dari kakak-kakaknya, dia redakan dengan mendapatkan kasih sayang dari kakak-kakak rohisnya. Seperti sebuah pelarian, pada awalnya sebelum kemudian dia benar-benar jatuh cinta pada Islam dan pada dakwah.
Na tersenyum mengingat-ngingat kembali perjalanan hidupnya. Saat sakit seperti ini perjalanan hidupnya seperti diputar ulang, membuatnya menjadi bersyukur akan karunia Rabbnya. Namun genangan air mata kesedihan kembali membasahi matanya, manakala ingatannya kembali pada surat yang diterimanya kemarin pagi.
Na, ko sombong banget sih sekarang...
Mentang-mentang dah jadi orang kaya, sampe lupa kontak ke rumah.
Kamu enak-enakan dapet beasiswa jutaan,
disini kami hidup susah...
Hutang ayah benar-benar di luar dugaan kami.
Setiap hari penagih datang, gimana teteh ga pusong coba...
Hati Na kembali sakit. Tuduhan kakaknya terasa sangat menusuk ke dalam hatinya.
Sebuah windows terbuka pada layar komputernya. Mendorongnya bangkit dari tempat tidur lalu duduk di depan komputernya. Diambilnya tisu lalu ia menyeka airmatanya.
tulipku: assalamu alaikum
tulipku: teh Na beneran OL? tumben siang2...
tulipku: asik... mau curhat teh boleh yah
namakuna: alaikumussalam wrwb. hehe...iyah nih lagi bertapa jd OSB
namakuna: boleh atuh neng, apa sih yg ga boleh buat neng lia ;;)
tulipku: eh OSB teh apa?
namakuna: orang sakti baru :P
tulipku: :D si teteh mah aya aya wae...
tulipku: iyah gini teh...
...
Comments