Skip to main content

Membuat Luka Menjadi Bara (1)

Adakah manusia yang mencintai orang lain tanpa syarat
dan menolong sesamanya tak hanya pada waktu sisa?


Nana
Di kamarnya, Na masih menangis dalam bisu. Bahunya berguncang pelan. Surat dari Bandung di gengaman tangannya sedikit basah oleh airmata. Demam yang ia derita, rasanya tak ada apa-apa dibanding sakit yang ia terima di hatinya.

Tok tok tok...Suara ketukan di pintu memecah kebisuan. Na menyusut sisa bening yang membasahi mata dan kedua pipinya, lalu bercermin sebentar. Tak perlu memakai jilbab karena ia tahu Ra yang mengetuk pintu dan mengantarkan makan malam untuknya.

"Apa kabar hari ini, Say?" Senyum Ra menyambutnya di pintu.

Pakaian dan jilbabnya masih rapi, tanda dia belum berganti pakaian sepulang kuliah. Dapur adalah tujuan utamanya begitu sampai di rumah. Ah, Ra...wajahmu tanpa lelah sekali, bisik hati Na.

Na tersenyum kecil. "Ngantuk...mulai gatel nih... Mamah bikin apa malam ini?"

Ra yang dipanggil Na 'mamah' semenjak Ra merawat Na yang terkena cacar air, tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengangsurkan sebaki makanan. Aroma khas sop ayam langsung menerpa hidung Na. Potongan dadar dengan jagung dan bawang daun serta potongan buah segar turut melengkapi hidangan malam Na.

"Mamah bikin baso?" Mata Na membulat. "Asik, makasih..."

"Makan yang banyak, ya. Trus maaf nih Na, mulai hari ini jam makan malammu terlambat. Mamah sibuk di lab. Hehe...ngejar gakkai tea. Ga papa?"

Na tersenyum sepenuh perasaannya. "Ga apa, Mamah. Aku masih sangat bersyukur bisa makan setiap hari. Aku tau kerjaanmu banyak banget di lab, ditambah ngurusin aku."

Ra tersenyum, "Aku ga papa...cuman banyak keterbatasan nih. Maaf banget, ya. Ok, aku cabut dulu...ada cucian?"

Na menggeleng. "Baru dikit, kagok. Besok aja, ya. Tapi minuman abis."

Dia kembali masuk ke kamar, mengambil botol minum, lalu mengangsurkannya. Ra mengambilnya, lalu pamit. Beberapa menit kemudian, saat suap demi suap makanan dinikmati Na, Ra telah kembali dan membawakan air panas untuk minum Na.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Sop buatan Mamah Ra enak sekali, pikir Na. Dia segera membuka windows Yahoo Messengernya dan mengetik pelan.

namakuna:Sopnya enak, aku suka. Makasih Mamah...

Selang beberapa menit, balasan Ra tiba.

akusihra: Oke, besok dibuatin lagi yah...;)

Na tersenyum, sambil kembali menekuni hidangan di depannya. Tampaknya dia melupakan tangisannya beberapa menit yang lalu.

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R