Hujan masih turun rintik-rintik saat aku keluar dari stasiun. Hari Ahad ini lengkap sudah episodeku bersama hujan. Pagi-pagi saat pergi kehujanan, pulang pun demikian. Salahnya sendiri, sering lupa dan malas membawa payung di musim hujan seperti ini.
Hup, sampai di gedung asrama aku refleks membuka kotak surat. Waa...sepucuk surat tanpa nama pengirim. Sampulnya aneh, bukan dari Indonesia. Sepertinya ini EMS edisi Malaysia. Mataku membesar, hatiku menghangat. Standar icon bahagia.
Hoho… Ternyata itu kiriman saudara baru dari Malaysia. Aku baru mengenalnya sepekan yang lalu, lewat teman yang lain. Dia mengirimkan CD kumpulan lagu nasyid, selembar kartu pos dan juga foto. Meskipun aku lebih senang dan sering mendengar murattal AQ daripada nasyid, tetap saja aku bahagia. Tiba-tiba hatiku dipenuhi getar-getar cinta membaca kata-kata di kartu pos itu: ‘Terimalah hadiah kecil dari saya. Moga ukhuwah yang terjalin diredhai Allah hendaknya’. Meski baru mengenalnya sekejap, semoga ukhuwah akan mengikatkan kami selamanya.
Hadiah selalu membuat setiap orang bahagia. Dalam hadist-hadistnya, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk saling memberi atau bertukar hadiah, sesederhana apapun itu. Bahkan dalam saat memasak sayur, sebaiknya kuah diperbanyak agar bisa diberikan sebagai hadiah bagi tetangga.
Hati-hati manusia akan bertaut dengan jalan saling memberi hadiah. Di kampus dulu, saudari-saudari muslimahku senang sekali saling memberi hadiah. Kadang isinya sebatang pensil, coklat imut yang diberi pita, bahkan hanya sebutir dua butir permen yang dibungkus manis. Dan itu membuat hati satu sama lain semakin dekat.
Hari ulang tahun adalah salah satu momen untuk memberi hadiah. Meski tidak setiap tahun, tapi ada saat-saat dimana aku banjir hadiah pada sekitar hari kelahiran itu. Bahkan sampai saat tingkat akhir di kampus, masih saja begitu. Aku pernah pulang dari kampus membawa setumpuk buku dan coklat. Itupun sebagian coklat sudah didistribusikan untuk anak-anak di Kongres, salah satu organisasi kampus yang aku ikuti. Entah bagaimana, dua jenis benda itu yang menjadi tema utama hadiah ulang tahunku. Mungkin karena terlalu mudah ditebak atau sulit membuat pilihan yang lain. Nyatanya memang benda-benda itu salah dua favoritku.
Hampir separuh buku-buku besar yang ada di rak bukuku adalah hadiah dari mereka, kawan dan saudara beragam tipe dan usia. Aku selalu senang mencatat momen bagaimana aku mendapatkan buku-buku itu. Semuanya berkesan dan membuatku selalu bahagia mengenangnya. Seperti sebuah buku tentang perempuan yang diberikan dengan susah payah oleh adik kelasku di jurusan. Dia benar-benar ingin memberikan buku di hari istimewa itu, tapi uang tak ada. Hampir saja menyerah. Namun tiba-tiba uang beasiswanya cair pada detik-detik terakhir. Belum cukup dengan itu, di toko buku, buku yang dia inginkan (dan aku inginkan), tak ada. Dia mencari-cari di beberapa toko buku, sampai akhirnya menemukan stok terakhir di salah satunya. Subhanallah…
Hanya saja, saat aku bercerita penuh semangat pada adikku yang mengunjungku setelah itu, dia melemparkan lontaran sederhana,
“Hemm…Teteh, bukannya mestinya kita lebih bahagia saat kita yang menjadi pemberi hadiah? Bukankah milik kita yang sebenarnya adalah apa yang kita berikan pada orang lain?”
Hatiku terhujam dalam. Tak ada sanggahan untuknya. Dan sejak itu aku ingin sekali bisa merasa bahagia dengan cara yang lebih baik. Meski ternyata sama sekali tidak mudah...
Hari Jumat, 11 Juni 2004 di Tokyo
Hup, sampai di gedung asrama aku refleks membuka kotak surat. Waa...sepucuk surat tanpa nama pengirim. Sampulnya aneh, bukan dari Indonesia. Sepertinya ini EMS edisi Malaysia. Mataku membesar, hatiku menghangat. Standar icon bahagia.
Hoho… Ternyata itu kiriman saudara baru dari Malaysia. Aku baru mengenalnya sepekan yang lalu, lewat teman yang lain. Dia mengirimkan CD kumpulan lagu nasyid, selembar kartu pos dan juga foto. Meskipun aku lebih senang dan sering mendengar murattal AQ daripada nasyid, tetap saja aku bahagia. Tiba-tiba hatiku dipenuhi getar-getar cinta membaca kata-kata di kartu pos itu: ‘Terimalah hadiah kecil dari saya. Moga ukhuwah yang terjalin diredhai Allah hendaknya’. Meski baru mengenalnya sekejap, semoga ukhuwah akan mengikatkan kami selamanya.
Hadiah selalu membuat setiap orang bahagia. Dalam hadist-hadistnya, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk saling memberi atau bertukar hadiah, sesederhana apapun itu. Bahkan dalam saat memasak sayur, sebaiknya kuah diperbanyak agar bisa diberikan sebagai hadiah bagi tetangga.
Hati-hati manusia akan bertaut dengan jalan saling memberi hadiah. Di kampus dulu, saudari-saudari muslimahku senang sekali saling memberi hadiah. Kadang isinya sebatang pensil, coklat imut yang diberi pita, bahkan hanya sebutir dua butir permen yang dibungkus manis. Dan itu membuat hati satu sama lain semakin dekat.
Hari ulang tahun adalah salah satu momen untuk memberi hadiah. Meski tidak setiap tahun, tapi ada saat-saat dimana aku banjir hadiah pada sekitar hari kelahiran itu. Bahkan sampai saat tingkat akhir di kampus, masih saja begitu. Aku pernah pulang dari kampus membawa setumpuk buku dan coklat. Itupun sebagian coklat sudah didistribusikan untuk anak-anak di Kongres, salah satu organisasi kampus yang aku ikuti. Entah bagaimana, dua jenis benda itu yang menjadi tema utama hadiah ulang tahunku. Mungkin karena terlalu mudah ditebak atau sulit membuat pilihan yang lain. Nyatanya memang benda-benda itu salah dua favoritku.
Hampir separuh buku-buku besar yang ada di rak bukuku adalah hadiah dari mereka, kawan dan saudara beragam tipe dan usia. Aku selalu senang mencatat momen bagaimana aku mendapatkan buku-buku itu. Semuanya berkesan dan membuatku selalu bahagia mengenangnya. Seperti sebuah buku tentang perempuan yang diberikan dengan susah payah oleh adik kelasku di jurusan. Dia benar-benar ingin memberikan buku di hari istimewa itu, tapi uang tak ada. Hampir saja menyerah. Namun tiba-tiba uang beasiswanya cair pada detik-detik terakhir. Belum cukup dengan itu, di toko buku, buku yang dia inginkan (dan aku inginkan), tak ada. Dia mencari-cari di beberapa toko buku, sampai akhirnya menemukan stok terakhir di salah satunya. Subhanallah…
Hanya saja, saat aku bercerita penuh semangat pada adikku yang mengunjungku setelah itu, dia melemparkan lontaran sederhana,
“Hemm…Teteh, bukannya mestinya kita lebih bahagia saat kita yang menjadi pemberi hadiah? Bukankah milik kita yang sebenarnya adalah apa yang kita berikan pada orang lain?”
Hatiku terhujam dalam. Tak ada sanggahan untuknya. Dan sejak itu aku ingin sekali bisa merasa bahagia dengan cara yang lebih baik. Meski ternyata sama sekali tidak mudah...
Hari Jumat, 11 Juni 2004 di Tokyo
Comments