Skip to main content

About Me & Tokyo [2]

Sepertinya hari ini aku harus banyak menulis. Luka-lukaku hampir mengering semua. Senin ke dokter, dan insya Allah pekan ini sudah bisa beraktivitas normal. Saat itu nanti belum tentu aku bisa menulis banyak. Jadi mendingan tulisan panjang-panjang yang menceritakan masa lalu lebih baik diselesaikan sekarang.

Huwaa...padahal buku-buku yang terjadwal untuk dibaca selama sakit ini pun belum selesai semua. Selalu begini...ada selisih antara harapan dan kenyataan.

KEDATANGAN
Pesawat yang kutumpangi bersama teman-teman adalah Japan Airlines. Ini kali pertama aku menaiki pesawat. Jadi agak norak juga, segala hal dicoba, hehe. Untungnya aku duduk bersama kawan-kawanku yang anak TF, dan kebetulan juga aku mendapat kursi dekat jendela. Tapi aku pikir kalaupun nomor kursiku bukan yang ini mereka akan dengan senang hati bertukar kursi. Yang satu tak ada masalah, yang satunya memang ingin duduk dekat gang supaya mudah jika pergi ke WC.

Makanan kemudian tak terlalu menjadi masalah. Meski tak semua menu bisa dimakan, kami masih bisa memilih sayuran dan ikan.

Banyak film-film pilihan yang bisa kami tonton disitu. Namun setelah mengeceknya dan merasa tak ada yang 'enak' untuk dilihat, aku memilih tidur saja. Toh besok pagi sepertinya akan cukup sibuk, jadi lebih baik istirahat.

Semburat mentari pagi membangunkanku, dan langit biru mendominasi pemandangan di balik jendela. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Ah, kecilnya dunia...dan betapa luasnya semesta.

Menemukan diri kita menjadi titik di dalam keluasan semesta, membuat kita akan merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dalam keadaan seperti itu aku seringkali merasa sedih dan berpikir-pikir, apakah aku kelihatan? Diantara tasbih semesta, tahmid alam, aku mungkin luput dari perhatian. Apalagi dengan segala cacat dan cela yang kupunya.

Tapi lihatlah...dikabarkan, bahwa Yang Mahatahu bahkan mengetahui setiap helai daun yang jatuh di bumi. Setiap helai daun! Bahkan daun di pot bunga dalam kamarku saja aku tak tahu kapan ia jatuh. Ini sehelai daun yang jatuh di bumi, satu diantara sekian milyar benda angkasa pada semesta. Masya Allah...

Sesekali pesawat menembus awan, menimbulkan getaran pada pesawat. Selain memperhatikan pemandangan sekitar, aku juga sempat membaca beberapa lembar tafsir Hamka yang kubawa bersamaku.

Perlahan, pemandangan Tokyo dan sekitarnya mulai terlihat. Seperti petak-petak pada peta yang tersusun rapi. Japan...I'm coming....

Jelang pukul 9 pagi pesawat mendarat dengan mulus di Narita. Kami segera mengurus administrasi, lalu keluar. Di luar para penjemput telah datang. Ada kawanku sesama FT 97 yang berangkat tahun sebelumnya, dan juga seorang senpai (senior) di TIT yang aku baru bertemu meskipun sempat beberapa kali chatting dengannya menanyakan banyak hal terkait dengan sekolahku ini. Untung ada mereka berdua karena barang bawaanku ini banyak sekali. Lebih dari 60kg, hehe.

Setelah berbicara sebentar aku dan temanku diantar membeli kartu telepon dan langsung menelepon ke Bandung. Telepon yang singkat, sekedar mengabarkan bahwa aku tiba dengan selamat. Aku juga menelepon ke kampus, mengabarkan pada asisten sensei (saat itu sensei sedang ke eropa, sehingga asistennya yang diminta mengurusiku) namun asisten tersebut tak ada di ruangannya.

Bandara Narita itu mirip Cengkareng juga desain dalamnya, namun aku tak tahu strukturnya secara utuh. Narita berada di Chiba, yaitu darah di sebelah tenggara Tokyo. Perjalanan ke pusat kota Tokyo memakan waktu sekitar satu sampai dua jam naik kereta.

Di kereta itu aku melihat pemandangan yang berbeda dengan apa yang biasa kulihat dari dalam kereta Parahyangan Bandung-Jakarta atau Mutiara Selatan Bandung-Surabaya, atapun saat aku menaiki kereta Lampung-Palembang yang aku lupa namanya. Rumah dan apartemen berjejer.

Sepanjang jalan kuamati rumah-rumahnya kecil dan jarang, kebanyakan apartemen. Halaman rumahnya sempit, dan tak ada yang memiliki teras. Atapnya pun cenderung simpel-simpel saja (katanya supaya salju tidak tertahan di atap). Jalan-jalan sekitar rumahpun kecil, tak ada trotoar. Jalan untuk pejalan kaki cukup ditandai dengan garis pada jalan di sisi kiri ataupun kanan.

Setelah berganti kereta sekali, sampailah kami di stasiun besar bernama Shibuya. Karena aku yang satu-satunya perempuan dan tinggal di asrama yang berbeda dengan ketiga kawanku, maka diputuskan untuk dibagi dua dahulu. Dua orang akan menemaniku ke asramaku di Komaba, sementara sisanya menunggu di Shubuya untuk kemudian pergi bersama-sama ke asrama satunya lagi.

Komaba-Shibuya memang tidak jauh, hanya dua stasiun dan memakan waktu 4 menit saja dengan kereta.

Tiba di stasiun Komaba Todaimae, stasiun terdekat dengan asramaku, kami berjalan kaki menuju asrama. Meski asramaku tidak jauh, aku sungguh prihatin melihat kedua kawanku yang juga senpaiku itu membawa barang-barangku yang berat itu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.

Lingkungan sekitar asramaku tenang dan asri. Ada SD, SMU, serta Universitas di sekitarnya. Ada juga taman dan fasilitas OR. Gedung asramanya tak jauh berbeda dengan apa yang kulihat di foto.

Asramaku ternyata merupakan kompleks yang terdiri dari beberapa gedung. Tiba di sana kami segera menuju kantor dan langsung disambut. Pertama-tama aku diberi berkas, sekaligus kunci, lalu diajari bagaimana membayar listrik untuk pertama kali. Mungkin karena masih belum terbiasa mendengar orang berbahasa Inggris, aku tak benar-benar mengerti. Untungnya senpaiku itu menerangkan lebih detil setibanya kami di kamar baruku.

Aku mendapatkan gedung I, kamar no 322. Wah, lantai tiga. Karena gedungnya hanya tiga lantai, tentu tidak disediakan lift. Dengan susah payah barang-barang diangkut. Setibanya di kamar senpaiku menerangkan tentang sistem pembayaran listrik, air dan gas yang tadi diterangkan petugas.

Rupanya di asramaku ini sistem pembayaran listrik, air, dan gasnya dijadikan satu dan di bayar di muka. Prepaid payment, istilahnya seperti membayar pulsa HP. Kita harus memasukan uang di mesin dekat kantor tadi, lalu manggunakannya. Di kamar ada display berapa banyak uang yang tersisa. Bila uang kita tinggal 500 yen lagi display di kamar akan berkedip-kedip dan kita harus membayar lagi. Saat display menunjukkan angka nol atau uang benar-benar habis maka segalanya akan mati, termasuk telepon.

Tak berapa lama setelah memastikan aku akan baik-baik saja, kedua senpaiku pun pergi.

Pukul 13.30 dijadwalkan orientasi asrama. Aku baru menyadari kalau aku tak punya jam. Jamku telah lama hilang, lalu terbiasa menggunakan HP. Aku tak tahu jam terdekat. Akhirnya setelah mengira-ngira waktu, dan membereskan beberapa hal, aku pergi ke kantor dan menunggu orientasi disana. Ohya, aku juga sempat menelepon asisten sensei dan juga adikku di Akita, dan melaporkan kalau aku tak punya jam. Hiks...

Orientasi berjalan lancar, dan setelah itu kami pergi bersama ke kantor kota guna mendaftarkan diri dan memperoleh KTP. Aku menjadi sangat pendiam dan tak bisa berbicara banyak meski tutor asramaku berusaha mengajakku bicara. Selain ke kantor penduduk, tutor juga mengajak kami ke Shubuya dan berbelanja di Toko 100 yen dimana semua barang harganya 100 yen. Tak banyak barang yang aku beli karena aku masih belum tahu apa yang aku butuhkan.

Hari sudah menjelang malam saat semuanya selesai. Aku bersyukur sedang berhalangan sehingga tidak pusing dengan masalah waktu sholat maupun kiblat.

Malam harinya aku merapikan barang-barang dan membuka kado-kado yang diberikan kawan-kawanku. Mereka menyerahkan hadiah-hadiah itu di bandara, meskipun ada juga yang diberikan saat kunjungan ke rumah. Hampir semua isinya buku. Tak diduga, ternyata ada satu kado dari 'adik-adik' yang isinya jam weker. Subhanallah... benar-benar rejeki yang tak disangka.

Belum cukup dengan kejutan itu, pintu kamarku diketuk-ketuk. Dua wajah Ina, laki-laki dan perempuan muncul di balik pintu. Kami berkenalan, yang akhwat ternyata anak S1 dan yang ikhwan masih sekolah bahasa, yuniornya adikku. Dua-duanya tinggal di sini. Bahkan yang akhwat kamarnya hampir depan kamarku sementara yang ikhwan di gedung yang lain.

Pertanyaan selanjutnya yang diajukan adalah,

"Mbak katanya ga punya jam?"

Hehe...rupanya mereka kiriman adikku. Jadinya aku bercerita panjang lebar. Karena belum makan, dan pegal berbicara di depan pintu akhirnya kami pergi ke ruang makan. Mereka menemaniku makan sambil mengobrol. Lega rasanya setelah hampir seharian membisu, bisa mengobrol lepas...

[Bersambung]

Sedikit saudara dilahirkan dari rahim yang sama, namun banyak saudara yang mengisi hari-hari kita dilahirkan dari hati. Subhanallah...

Comments

Anonymous said…
Putri,nih.
Subhanallah,alhamdulillah ada sakit,ya Teh. Jadilah cerita ini. Jadi teringat kembali saat saat datang ke Jepang. Betapa sulit orang memaknakan apa yang dikaruniakan kepadanya, bahkan untuk sekedar menuliskannya, dan berbagi kepada orang lain.
Lebih gawat lagi, ketika ia tak menyadari, bahwa hari2nya adalah karunia yang tak ada kiranya.

Malam ini, segala keluh berangsur pergi.
Sungguh tak apalah, jika aku `hanya`menjadi seorang hamba yang menjalankan ibadah wajibnya saja, tapi tak membawa rasa suudzon,iri,curiga,marah,dan gumpalan2 hitam di hati ke tempat tidur. Apalagi,jika itu ditujukan kepada yang menciptakanNya.
Nauzubillah.
Wah,jadi panjang.
Abis, mo buat blog sendiri ga ada bahan...huehehe...

Terusin,teh!

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar