Neno membuat sebuah buku. Ini adalah salah satu cuplikannya. Saya belum tahu boleh memuatnya disini atau tidak. Saya mendapatkannya dari milis seputar buku dan kepenulisan. Sungguh, saya sangat menyukai tulisan ini. Mengingatkan saya pada ayah, dan juga pada banyak pertanyaan dalam diri saya tentang bagaimana seharusnya anak laki-laki maupun perempuan itu dibentuk.
Di salah satu milis yang aku ikuti, kami malah memperbincangkan bagaimana peran ayah dalam menghadapi masa remaja anak-anak perempuannya. Generasi baru dakwah saat ini mulai memasuki fase remaja. Tantangan tersendiri buat para orang tua mereka, yang dulu pada masa remajanya justru baru 'menemukan Islam' di luar rumah: di sekolah dan di kampus-kampus. Sekarang adalah fase dimana, bagaimana menciptakannya di rumah sendiri?
Semoga Allah karuniakan pada mereka semua (para orang tua) kesabaran, kekuatan, dan kebijaksanaan, untuk melahirkan generasi terbaik dengan sifat-sifat mulia...
----
AKU INGIN ANAK LELAKIKU MENIRUMU
Oleh Neno Warisman
Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya,
Lalu kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip
denganmu ya!"
Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau
anak lelaki ingin seperti aku."
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya
dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah
Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah
ya,Yah."
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.
Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua:
Ammaa. Apppaa.
Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia
Ahmad.
Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya
memang jago matematika.
Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga.
Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak
mengesalkan.
Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya.
Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang,
mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main
kuda-kudaan,
atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.
Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah,
Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam.
Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya,
dan ia menjadi amat mudah marah.
Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku.
Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan
seremeh itu,
katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1.
Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan
seorang cucu.
Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
"Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
"Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti
aku!"
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku.
Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia.
Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah,
gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!"
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana.
Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.
Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri
dan seorang ibu.
Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku
serasa sudah berabad aku menyimpannya.
Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
"Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau
ingat?
Kau tolak ia merangkak di punggungmu!
Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali.
Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi?
Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran
dengan mereka
Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan
engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari
gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa
menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak
diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa
dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada
Ahmad.
Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya,
yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang
didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian.
Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang
yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali
Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan
keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di
rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada
perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan
kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi
jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai.
Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata
terlambat untuk mulai, Sayang."
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama,
bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi
sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh
kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya
Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan
dengan kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur
pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan
tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali
berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga
untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah
Di salah satu milis yang aku ikuti, kami malah memperbincangkan bagaimana peran ayah dalam menghadapi masa remaja anak-anak perempuannya. Generasi baru dakwah saat ini mulai memasuki fase remaja. Tantangan tersendiri buat para orang tua mereka, yang dulu pada masa remajanya justru baru 'menemukan Islam' di luar rumah: di sekolah dan di kampus-kampus. Sekarang adalah fase dimana, bagaimana menciptakannya di rumah sendiri?
Semoga Allah karuniakan pada mereka semua (para orang tua) kesabaran, kekuatan, dan kebijaksanaan, untuk melahirkan generasi terbaik dengan sifat-sifat mulia...
----
AKU INGIN ANAK LELAKIKU MENIRUMU
Oleh Neno Warisman
Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya,
Lalu kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip
denganmu ya!"
Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau
anak lelaki ingin seperti aku."
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya
dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah
Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah
ya,Yah."
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.
Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua:
Ammaa. Apppaa.
Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia
Ahmad.
Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya
memang jago matematika.
Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga.
Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak
mengesalkan.
Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya.
Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang,
mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main
kuda-kudaan,
atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.
Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah,
Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam.
Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya,
dan ia menjadi amat mudah marah.
Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku.
Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan
seremeh itu,
katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1.
Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan
seorang cucu.
Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
"Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
"Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti
aku!"
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku.
Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia.
Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah,
gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!"
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana.
Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.
Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri
dan seorang ibu.
Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku
serasa sudah berabad aku menyimpannya.
Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
"Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau
ingat?
Kau tolak ia merangkak di punggungmu!
Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali.
Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi?
Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran
dengan mereka
Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan
engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari
gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa
menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak
diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa
dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada
Ahmad.
Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya,
yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang
didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian.
Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang
yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali
Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan
keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di
rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada
perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan
kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi
jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai.
Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata
terlambat untuk mulai, Sayang."
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama,
bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi
sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh
kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya
Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan
dengan kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur
pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan
tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali
berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga
untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah
Comments