Pagi ini kamar saya diketuk-ketuk, namun saya tak kuasa untuk bangkit. Terlalu lemah sekali. Dia tak berusaha lama, barangkali dia pikir saya sedang tertidur. Saya mencoba mengenali suara orang-orang yang memanggil-manggil saya, ternyata salah seorang teman asrama. Saya baru ingat hari ini tanggal 21 Juni, dan pada tanggal ini dia akan pulang ke negaranya selama dua pekan untuk sidang Masternya.
Saya paksakan untuk duduk menyender dan meneleponnya. Syukurlah, dia ternyata masih di kamarnya dan akan pergi ke Narita tengah hari nanti. Ia tahu hari ini saya harus cek ke rumah sakit sehingga berniat mengunjungi saya sebelum kami berpisah. Kami berbincang beberapa saat sebelum mengucapkan salam perpisahan.
Dua minggu bukan waktu yang sebentar untuk orang-orang yang bertemu hampir setiap hari seperti kami. Dia mengisi hari-hari saya sejak awal kami tiba disini, hampir 9 bulan yang lalu. Berangkat dan pulang bersama dari kampus, badminton, bersepeda, jalan kaki, berbelanja, makan siang bersama (baik itu di kantin atau di rumput hijau kampus ataupun di ruang makan asrama), memasak, dan masih banyak lagi.
Berdebat pun bukan sekali dua kali. Terkadang dia melontarkan 'nasihat-nasihat'nya dengan sepenuh hati.
"Please...take time with boys...have a special dating, enjoy your life"
Haha...saya hanya geli dan tertawa saja. Tapi pada waktu lain saat suasana serius saya bilang padanya,
"As a muslim, we have special way for everything. You don't have to be worry. I have my own way to get my prince, OK" ;)
Dan dia tak pernah membuka kasus itu lagi.
Perlahan, rasa sepi dan kehilangan menjalari hati saya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Kami hanya berbicara di balik pintu. Saya tak mau mengambil resiko membuat dia ketularan. Mungkin ini adalah latihan bagi kami untuk membiasakan diri supaya perpisahan sementara ini tidak terlalu menyakitkan.
Lalu saya berpikir hal lain. Tentang bagaimana saya 'jatuh cinta' pada gadis ini. Menemukannya sebagai orang dekat, diantara sekian banyak manusia yang berlalu lalang di sekitar saya. Kenapa dia? Kenapa dengan dia saya merasa begitu dekat, begitu biasa, begitu nyaman, bisa mengobrolkan apa saja. Tentu dengan mengecualikan komitmen keakidahan mengingat dia tidak memiliki agama.
Disini pun banyak saudara/saudari muslim, diantara mereka pun, tak semuanya yang memiliki tarikan mendalam. Betapa ajaibnya cinta, karena kita sebetulnya tak bisa benar-benar memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Semuanya mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung.
Cinta sendiri buat saya adalah suatu perkara yang super dahsyat, yang membuat manusia bisa berubah menjadi sosok lain karenanya. Dakwah sendiri akan baik hasilnya bila diawali dengan cinta. Pun aneka perbuatan baik, terasa indah dalam bingkai cinta. Namun kita harus waspada, saat hawa nafsu menjalankan misinya atas nama cinta.
Kembali ke perenungan semula... Karena cinta itu tak bisa direkayasa apalagi ditolak, maka yang paling mungkin bagi kita adalah mengendalikannya dan mengontrolnya dengan akal kita.
Mengontrol bagaimana sih?
Pertama, mengontrolnya menjadi cinta karena Allah.
Turunannya banyak. Saya menyukai artikel tentang ini di blog lain, yaitu http://ghuroba.blogspot.com
(to be continue...)
Saya paksakan untuk duduk menyender dan meneleponnya. Syukurlah, dia ternyata masih di kamarnya dan akan pergi ke Narita tengah hari nanti. Ia tahu hari ini saya harus cek ke rumah sakit sehingga berniat mengunjungi saya sebelum kami berpisah. Kami berbincang beberapa saat sebelum mengucapkan salam perpisahan.
Dua minggu bukan waktu yang sebentar untuk orang-orang yang bertemu hampir setiap hari seperti kami. Dia mengisi hari-hari saya sejak awal kami tiba disini, hampir 9 bulan yang lalu. Berangkat dan pulang bersama dari kampus, badminton, bersepeda, jalan kaki, berbelanja, makan siang bersama (baik itu di kantin atau di rumput hijau kampus ataupun di ruang makan asrama), memasak, dan masih banyak lagi.
Berdebat pun bukan sekali dua kali. Terkadang dia melontarkan 'nasihat-nasihat'nya dengan sepenuh hati.
"Please...take time with boys...have a special dating, enjoy your life"
Haha...saya hanya geli dan tertawa saja. Tapi pada waktu lain saat suasana serius saya bilang padanya,
"As a muslim, we have special way for everything. You don't have to be worry. I have my own way to get my prince, OK" ;)
Dan dia tak pernah membuka kasus itu lagi.
Perlahan, rasa sepi dan kehilangan menjalari hati saya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Kami hanya berbicara di balik pintu. Saya tak mau mengambil resiko membuat dia ketularan. Mungkin ini adalah latihan bagi kami untuk membiasakan diri supaya perpisahan sementara ini tidak terlalu menyakitkan.
Lalu saya berpikir hal lain. Tentang bagaimana saya 'jatuh cinta' pada gadis ini. Menemukannya sebagai orang dekat, diantara sekian banyak manusia yang berlalu lalang di sekitar saya. Kenapa dia? Kenapa dengan dia saya merasa begitu dekat, begitu biasa, begitu nyaman, bisa mengobrolkan apa saja. Tentu dengan mengecualikan komitmen keakidahan mengingat dia tidak memiliki agama.
Disini pun banyak saudara/saudari muslim, diantara mereka pun, tak semuanya yang memiliki tarikan mendalam. Betapa ajaibnya cinta, karena kita sebetulnya tak bisa benar-benar memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Semuanya mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung.
Cinta sendiri buat saya adalah suatu perkara yang super dahsyat, yang membuat manusia bisa berubah menjadi sosok lain karenanya. Dakwah sendiri akan baik hasilnya bila diawali dengan cinta. Pun aneka perbuatan baik, terasa indah dalam bingkai cinta. Namun kita harus waspada, saat hawa nafsu menjalankan misinya atas nama cinta.
Kembali ke perenungan semula... Karena cinta itu tak bisa direkayasa apalagi ditolak, maka yang paling mungkin bagi kita adalah mengendalikannya dan mengontrolnya dengan akal kita.
Mengontrol bagaimana sih?
Pertama, mengontrolnya menjadi cinta karena Allah.
Turunannya banyak. Saya menyukai artikel tentang ini di blog lain, yaitu http://ghuroba.blogspot.com
(to be continue...)
Comments