Udara sejuk khas musim semi, perlahan-lahan meninggalkan Tokyo. Sebenarnya tak benar-benar meninggalkan karena terkadang kesejukan masih tetap menyelimuti lingkungan sekitarku. Apalagi di masa peralihan ini, hujan sering sekali menyapa kami.
Selama sepekan, misalnya, dua tiga hari hujan membasahi bumi. Ahad kemarin, aku sempat berhujan-hujan ria saat pergi ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Aku lupa dan malas membawa payung. Lumayan basah, untung sekardus majalah yang kubawa telah kubungkus rapi dengan plastik sehingga tak ikut menderita. Di SRIT ada seminar Fahima (Forum Silaturahim Muslimah) dimana aku jadi panitia sekaligus moderator sesi pertama. Syukurlah, saat maju ke podium, jilbab dan bajuku telang mengering.
Sebenarnya, di stasiun kereta tersedia payung-payung yang bisa digunakan siapa saja. Kita bisa memakainya saat hujan mendadak. Namun kadang orang-orang lupa mengembalikannya sehingga persediaan benar-benar kosong dan tak ada saat dibutuhkan. Tapi boleh jadi pula, yang memerlukan payung-payung itu lebih banyak dari jumlah payung yang tersedia.
Sesekali langit cerah...biru tanpa awan. Aku senang sekali memandangnya dari jendela kamar di asrama ataupun jendela lab yang sangat besar. Banyak juga mahasiswa yang menikmati cuaca dengan berjemur di rerumputan yang ada di kampus.
Aku lupa berapa suhu tertinggi yang pernah ada. Rasanya lembab dan panas sekali. Tapi itu tak terasa saat kita berada dalam ruangan ataupun kereta. Kipas angin, AC, dll membuat kepanasan itu bisa teratasi.
Mahasuci Allah...yang menciptakan cuaca dan memberikan inspirasi, membuat kita bisa mengembangkan rasa dan akal. Menikmati kesejukan dan bersabar untuk segala kesulitan yang melibatkannya. Juga mengembangkan akal karena bisa menciptakan aneka peralatan dan sistem untuk mengantisipasinya.
Tokyo, 10 Juni 2004
(istirahat makan siang di Nishi 9-428)
Selama sepekan, misalnya, dua tiga hari hujan membasahi bumi. Ahad kemarin, aku sempat berhujan-hujan ria saat pergi ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Aku lupa dan malas membawa payung. Lumayan basah, untung sekardus majalah yang kubawa telah kubungkus rapi dengan plastik sehingga tak ikut menderita. Di SRIT ada seminar Fahima (Forum Silaturahim Muslimah) dimana aku jadi panitia sekaligus moderator sesi pertama. Syukurlah, saat maju ke podium, jilbab dan bajuku telang mengering.
Sebenarnya, di stasiun kereta tersedia payung-payung yang bisa digunakan siapa saja. Kita bisa memakainya saat hujan mendadak. Namun kadang orang-orang lupa mengembalikannya sehingga persediaan benar-benar kosong dan tak ada saat dibutuhkan. Tapi boleh jadi pula, yang memerlukan payung-payung itu lebih banyak dari jumlah payung yang tersedia.
Sesekali langit cerah...biru tanpa awan. Aku senang sekali memandangnya dari jendela kamar di asrama ataupun jendela lab yang sangat besar. Banyak juga mahasiswa yang menikmati cuaca dengan berjemur di rerumputan yang ada di kampus.
Aku lupa berapa suhu tertinggi yang pernah ada. Rasanya lembab dan panas sekali. Tapi itu tak terasa saat kita berada dalam ruangan ataupun kereta. Kipas angin, AC, dll membuat kepanasan itu bisa teratasi.
Mahasuci Allah...yang menciptakan cuaca dan memberikan inspirasi, membuat kita bisa mengembangkan rasa dan akal. Menikmati kesejukan dan bersabar untuk segala kesulitan yang melibatkannya. Juga mengembangkan akal karena bisa menciptakan aneka peralatan dan sistem untuk mengantisipasinya.
Tokyo, 10 Juni 2004
(istirahat makan siang di Nishi 9-428)
Comments