Skip to main content

Berkaca

Diambil dari arsip tulisan
---
040304
(angka yang bagus, senang rasanya bisa menulis di tanggal ini)

Libur musim dingin hampir usai. Empat belas hari hanya tersisa dua hari saja. Pfff...banyak sekali ternyata target yang belum dituntaskan. Buku kanji, weekly report, review,... Bahkan dua buah text book kuliah masih tersenyum manis di rak-belum tersentuh samasekali selama libur.

Berbeda dengan hari2 di awal libur yang tenang, hari2 terakhir ini intensitas meningkat cepat. Rapat2 online dan deadline2 terasa begitu memburu dan membuatku kadang sulit menghela nafas. Alhamdulillah satu persatu bisa dituntaskan. Meski ini belum apa2... Akan ada batas2 baru yang menunggu untuk dilewati.

Aku sedang pikir, siapakah yang sebenarnya memburu dan diburu? Kita atau waktu?

Nyatanya saat aku menemukan tanggal lahirku yang lain, aku merasa menjadi sangat tua... Ya...8 Dzulqaidah adalah hari lahirku di tahun hijriyah. Dan tahun ini, itu bertepatan dengan tanggal 1 Januari 2004. Tepat di tahun baru ini usiaku 26 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk mengatakan berhenti pada sesuatu yang sifatnya kekanak2an. Bukan berarti aku ingin berhenti menjadi seorang yang manis, yang ceria, yang kawai, yang pika2, yang selalu positif, atau lainnya. Tapi aku ingin berhenti menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Baik dari tanggung jawab kecil ataupun dari tanggung jawab kemanusiaan. Berhenti dari keegoisan, keinginan untuk menang sendiri.

Aku ingin berhenti dari kemunafikan...

Entahlah...aku sering sekali merasa jadi orang yang munafik. Karena banyak nilai yang kuketahui dan kupahami, hingga seolah nilai itu telah menjadi diriku, padahal tidak... Dan kadang2 aku tak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk berkata apa adanya. Untuk melihat diriku apa adanya...bahwa aku memang belum apa2...bahwa banyak cacat dan cela dalam jiwaku

Aku masih saja menyukai pujian. Padahal pujian manusia hanya ada karena Allah saja yang membuat tabir yang menutupi aib dan cacat diri dari pandangan orang2 di sekelilingku. Dan kadang aku mencari pujian. Berusaha membuat diri seperti memenuhi apa yang diharapkan orang akan sebuah kebaikan. Lalu seperti apa sebenarnya aku? Kalau diri sendiri saja kita tak sanggup untuk menilainya, siapa lagikah yang akan menilai? Tuhan saja? Lantas membiarkan hari penghisaban menjadi penilai, dan kemudian segalanya terlambat. Lalu membiarkan penyesalan menjadi ending diri.

Tidak.

Aku ingin jujur berkaca

Sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar